Tuhan milik siapa...?


Sejarah memberikan catatan kepada kita bahwa pertumpahan darah yang paling banyak terjadi di dunia disebabkan karena memperebutkan Tuhan, Agama dan Kebenaran. Keyakinan kuat atau fanatisme terhadap agama pada satu sisi memberikan hal yang positif, membuat manusia mengikuti aturan sehingga dengan keteraturan itu menyebabkan hubungan manusia dengan manusia menjadi harmonis begitu juga hubungan manusia dengan alam. Di sisi lain, ketaatan dalam agama tanpa di iringi semangat toleransi dan pengetahuan yang mendalam terhadap agamanya dan agama lain akan memberikan ruang kebencian yang ketika dijadikan alat politik oleh sekompok orang akan menjadi racun berbahaya dalam masyarakat.

Pertumpahan darah, hilangnya jutaan nyawa dan harta benda yang timbul dari fanatisme agama hampir semua bermuara kepada politik baik permusuhan antara agama maupun permusuhan di dalam penganut agama yang sama.

Setiap pemeluk agama manapun meyakini bahwa Tuhan itu milik mereka dan manusia diluar agama mereka tidak mendapat tempat di sisi Tuhan. Satu sisi keyakinan itu diperlukan agar manusia semangat dalam beribadah namun disisi lain terkadang memberikan efek buruk bagi pemeluknya dengan memaksa orang-orang diluar agamanya untuk mengakui Tuhan yang disembahnya. Melakukan tindakan pemaksaan kepada orang diluar agamanya seolah-olah dia telah mendapat mandat langsung dari Tuhan mereka.

Di dalam Islam sendiri, kemudian muncul kelompok-kelompok fanatik yang dari gaya mereka bertindak seolah-olah seluruh tindakannya sudah disetujui Tuhan. Membakar rumah ibadah agama lain, membunuh tokoh agama dan tindakan-tindakan tercela lain yang dibungkus dengan istilah keren berbau agama, yaitu Nahi Mungkar. Tindakan Lebay ini bukan hanya di dalam Islam, tapi juga dalam agama lain karena setiap agama mempunyai kelompok garis keras yang memahami agama dengan kaku. Jadi bukan karena agamanya tapi karena penganut agama tersebut yang memahami agama secara keliru.

Memaksakan agama yang kita yakini kepada orang yang berbeda agama bukan hanya tidak alamiah tapi juga bertentangan dengan konsep Tuhan yang universal dan Esa yang kita yakini.

Disinilah letak rancu pemahaman kita terhadap Tuhan, di satu sisi kita meyakini bahwa diseluruh jagad raya hanya ada satu Tuhan, tapi disisi lain kita memberikan ruang seolah-olah ada Tuhan lain yang harus dimusnahkan agar orang-orang yang menyembah Tuhan lain tersebut tunduk kepada Tuhan kita.

Ketika manusia memperebutkan Tuhan, saling bermusuhan untuk mendapatkan kepemilikan yang mutlak terhadap Tuhan maka disaat itulah eksistensi Tuhan itu sendiri menjadi kabur bahkan hilang sama sekali. Ketika manusia memiliki keyakinan bahwa Tuhan bukan milik siapa-siapa tetapi Tuhan memiliki kita semua serta seluruh alam jagad raya, maka disaat itulah pula akan timbul kesadaran untuk saling menghargai, saling mengasihi antara sesama manusia.

Tuhan yang diyakini oleh Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Agama lainnya adalah Tuhan yang sama karena tidak mungkin Tuhan itu banyak, tapi masing-masing mereka dalam agama yang berbeda melihat Tuhan dalam kacamata yang berbeda pula. Kita harus memberikan ruang kepada saudara kita yang memaknai Tuhan sebagai “Merah” karena dia memakai kacamata merah, begitu juga kita harus memberikan ruang kepada saudara kita yang lain yang memaknai Tuhan sebagai “hijau”, “kuning” “biru” dan lain-lain sesuai kacamata yang di pakainya.

Fanatisme berlebihan dalam beragama sampai merasa seolah-olah Tuhan milik kelompok mereka disebabkan karena tipisnya pengetahuan terhadap agama karena semakin dalam dan luas pemahaman seseorang terhadap agama maka akan semakin timbul sikap toleransi dalam dirinya. Kekhawatiran akan dangkalnya akidah, copotnya iman, lenyapnya Tuhan dalam kehidupannya timbul karena dia belum sampai kepada Tuhan itu sendiri.

Ketika manusia telah benar-benar menemukan Tuhan, maka tidak ada sedikitpun keraguan dan kekhawatiran dalam dirinya tentang apapun termasuk khawatir akan hilangnya Tuhan dalam kehidupannya karena dia menyadari segala dan kekhawatiran suatu hanya bisa terjadi atas kehendak Tuhannya.

Junjungan kita Nabi Muhammad SAW membawa Islam Mulia ini sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin artinya dengan kehadiran manusia-manusia beragama diharapkan memberikan rahmat dan keberuntungan bagi siapapun, memberikan kedamaian bagi semua. Bagi orang yang telah menemukan Allah, telah mengisi cahaya Allah dalam hatinya, maka kemanapun dia melangkah, alam sekitar akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Sebaliknya orang yang hanya membawa kitab suci ditangannya tanpa hadir cahaya Allah dalam hati tanpa sadar membawa kehancuran kepada Alam sekitarnya karena ketika cahaya Allah tidak bersemayam dalam hati berarti setan bersemayam dalam dirinya yang membawa kemungkaran di muka bumi.

Engkau tidak akan pernah menjadi "rahmatan lil ‘alamin" sebelum engkau bisa menjadi seperti awan, siapapun boleh bernaung dibawahnya, si kafir dan si iman.

Engkau tidak akan pernah menjadi "rahmatan lil ‘alamin" sebelum bisa menjadi seperti bumi, siapapun boleh berjalan di atasnya, si taat maupun si maksiat.
Powered byEMF HTML Contact Form
Report Abuse